ESSAY | Islam & Media Digital : Literasi Umat di tengah Era Post Truth


Assalamu Alaikum Wr Wb


Islam & Media Digital
Literasi Umat di tengah Era Post Truth
Oleh : Muh Faiz Azhar B
Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata post-truth sebagai “Word of the Year”.Jumlah penggunaan istilah post-truth di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan dengan tahun 2015. Ada alasan mengapa mengapa kurva penggunaan kata post-truth melambung tinggi di tahun 2016. Sebagian besar penggunaan kata ini, hampir selalu disematkan pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016; yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) serta terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
Kamus Oxford sendiri mendefinisikan istilah post-truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Kondisi post-truth memuncak dalam momen politik yang digerakkan oleh sentimen emosi seperti Brexit dan terpilihnya Trump. Dalam situasi tersebut, informasi-informasi hoax memiliki pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya. Selain ditandai dengan merebaknya berita hoax di media sosial, era post-truth juga ditandai dengan kebimbangan media dan jurnalis dalam menghadapi pernyataan-pernyataan bohong dari para politisi. Kasus selama pemilu presiden Amerika 2016 menjadi bukti bahwa semakin sering media menyiarkan  berita-berita bohong soal Donald Trump, justru membuat nama Trump semakin populer dan kebohongan-kebohongannya tersebar luas
            Di era digital saat ini kita dihantarkan pada keadaan di mana banyak informasi yang dapat diakses dengan begitu mudah. Banjir informasi di era revolusi digital menghadirkan sejumlah dampak sosial. Problem masyarakat saat ini bukan pada bagaimana mendapatkan informasi, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang ada. Kredibilitas media sebagai arus utama yang selalu digerogoti kepentingan elit dan pemilik, Hal ini memaksa masyarakat mencari informasi dengan alternatif lain. Masalahnya medium alternatif berupa media sosial di antaranya facebook, Instagram, youtube dan lainnya tak selalu mengalirkan berita yang benar.
Generasi muda yang memiliki keahlian untuk mengakses media digital, saat ini belum mengimbangi kemampuannya menggunakan media digital untuk kepentingan memperoleh informasi pengembangan diri. Hal ini juga tidak didukung dengan bertambahnya materi dan informasi  yang disajikan di media digital yang sangat beragam jenis, relevansi, dan validasinya. Di Indonesia saat ini, perkembangan jumlah media tercatat meningkat pesat, yakni mencapai sekitar 47.000, sedangkan yang terverifikasi oleh Dewan Pers hanya sekitar 243 media. Dengan demikian, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai media yang ada, terlepas dari resmi atau tidaknya berita tersebut. Hal ini terindikasi dari semakin merosotnya budaya baca masyarakat yang memang masih dalam tingkat yang rendah. Kehadiran berbagai gadget yang bisa terhubung dengan jaringan internet mengalihkan perhatian orang dari buku ke gadget yang mereka miliki.
Ketika media apapun dapat dipakai untuk mengirim pesan yang lebih menonjolkan opini ketimbang fakta, dan setiap orang bisa mempublikasikan opininya sendiri, maka fakta apapun akan tenggelam oleh kerasnya suara pengirim pesan. Setiap orang dapat menerbitkan opininya, setiap orang menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan yang paling repot setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Opini inilah yang diangkat sebagai ‘kebenaran’, bukan faktanya.Bila masyarakat berdiri di atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran, masyarakat ini sesungguhnya rapuh. Ia bagaikan bangunan kartu domino yang dengan satu sentuhan saja seluruh bangunannya runtuh.
Menjelang Pemilihan Presiden sadar atau tidak, post truth menjadi senjata yang ampuh di tahun poliitik. Di sosial media antara kubu cebong dan kampret saling mencaci dan memaki satu sama lain bahkan sampai saling berkata kafir satu sama lain. Diskusi di media sosial cenderung berakhir tidak baik. Setiap orang berkoar sesuka hatinya tanpa fakta. Tidak ada yang melarangnya, kecuali ketika diblokir oleh lawan debat. Sehingga dapat seringkali orang yang baru saja belajar Agama memaki dan mengkritisi pendapat orang yang sudah belajar Agama puluhan tahun. Kesalahan bisa menjadi benar tergantung seberapa banyak yang mendukung dan menyebarluaskan. Walaupun pendapat yang disampaikan benar, tidak akan dianggap benar kalau mayoritas orang awam membully dan memakinya
Salah satu yang menyebabkan internet tidak sehat adalah diamnya mayoritas dan orang yang paham ilmu agama. Sehingga ruang online dikuasai oleh orang yang tidak mengerti agama. Akibat buruknya, kalau ada pendapat yang disampaikan berbeda dengan pemahaman mayoritas orang awam, tokoh tersebut dimaki dan dihina. Meskipun pendapat itu didasarkan pada penelitian dan argumentasi yang kuat.
Kalau situasi seperti ini dibiarkan terus-menerus, tentu berbahaya bagi keislaman kita. Mungkin sekarang umat Islam masih dianggap moderat, karena masih banyak orang yang mau belajar Islam ke pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan lainnya. Setiap orang bisa saja bicara di internet, karena memang sudah hak orang mau bicara apa saja. Seperti yang kita ketahui  ada yang namanya propaganda komputasional untuk mengacaukan opini publik tentang ajaran agama yang benar demi keuntungan politik.
Islam nilainya sama tapi di berbagai tempat tumbuh dengan ekspresi budaya yang berbeda-beda. Tidak semuanya harus disamakan. Para wali dan para ulama Indonesia mengetahui dengan baik sejarah dan budaya nusantara. Mereka sudah menghasilkan bentuk praktek budaya keagamaan yang sesuai dengan budaya di Indonesia. Ijtihad ulama Nusantara ini juga tidak mudah, dan juga bukan proses sendirian, tentunya melalui musyawarah dan tirakat para ulama. Tidak selamanya fatwa yang bagus di suatu tempat, bagus juga di tempat lain.
Dalam membaca zaman di era digital, saat ini yang menjelaskan keadaannya justru adalah kiai/ulama dan tokoh agama, bukan sosiolog. Ini otokritik. Menurut Moh Yasir Alimi dosen sosiolog Universitas Negeri Semarang, mengapa ilmuan telat memberikan penjelasan kepada masyarakat? Karena dua hal. Pertama ilmuan masih ragu-ragu dengan situasi yang terjadi; dan kedua karena penjelasannya akan dianggap keberpihakan pada satu pihak yang berkompetisi dalam politik sehingga ilmuwan menghindari disebur cebong atau kampret.
Di kampus Universitas Esa Unggul kami berinisiatif membuat semacam komunitas yaitu “Danau Literasi” yang mana di tepi danau mahasiswa nongkrong membaca buku, nongrong dan berdiskusi. Salah satu yang paling seru yaitu setiap minggu nya kami mengadakan nonton bareng dan diskusi film. Hal seperti ini yang saya rasa dapat meningkatkan daya kritis mahasiswa dalam menyikapi segala problem yang ada. Berbeda dengan output dari debat kusir yang sering terjadi di media sosial. Sesekali kami juga menghadirkan dosen untuk menjadi pemateri.
David Stillman mengatakan dalam bukunya tentang generasi Z kalau salah satu kekuatan dan nilai plus dari generasi millenials adalah nilai kekritisan dan ingin membawa perubahan bagi masyarakat. Sebagai mekanisme pergantian kekuasaan, pemilu bukan hanya ajang kompetisi antar elit namun sarana partisipasi masyarakat yang sesungguhnya. Millenials dengan pemikirnnya yabg kritis dibantu dengan kemutakhiran teknologi dapat melakukan hal hal kecil yang berdampak yaitu melakukan pencerdasan politik bagi netizen. Dengan smartphone, kita bisa memberikan profiling terhadap caleg caleg di daerah kita, agar rekan dan saudara kita mengetahui siapa calon mereka. Ini menjadi bentuk konkrit kontribusi milenial demi pemilu yang lebih baik. Pula untuk menyikapi perbedaan pandangan politik, millenials harus cerdas dan berintegritas. Beberapa langkahnya adalah: jangan mudah tersulut dengan post yang memancing, jangan ikut ikutan comment yang menyulut kebencian, jangan menyebarkan post artikel yang tidak kredibel dan sumbernya tidak jelas dan lakukan e-campaign tentang persatuan dan kesatuan di tahun politik. Kelak, millenials, calon pemimpin bangsa kelak, bisa beri perubahan bagi Indonesia!
Maka dari itu mari kita mencari dan memantapkan jatidiri kita masing-masing, dengan jatidiri yang kokoh, gempuran hoax tidak akan membuat kita bingung. Hari ini bukan lagi waktunya berbicara hal yang tidak penting: mengolok-olok Muslim yang lain karena ibadahnya, mempertanyakan dasar negara atau mempertanyakan tentang Islam Nusantara. Untuk mengubah hal tersebut, dibutuhkan keterbukaan, kebebasan, dan keberanian berpikir kritis dan menampung hal-hal yang selama ini dianggap tidak asli. Sudah waktunya energi kita pakai untuk hal positif: mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tentunya tidak merugikan orang lain dan diridhoi Allah SWT.


REFERENSI

             Dua buku di atas adalah buku yang saya jadikan referensi dalam menulis essay ini. Semoga bermanfaat, akhir kata saya ucapkan Terima Kasih.

Wa'alaikumussalam Wr Wb




No comments:

Post a Comment

Tulisan

INDONESIA SEBAGAI PERDAMAIAN DUNIA

INDONESIA SEBAGAI  PERDAMAIAN DUNIA Oleh : Muh Faiz Azhar B Indonesia sebagai mitra sejati perdamaian dunia telah ikut menjaga per...